Saat ini kegiatan rehabilitasi hutan menjadi prioritas pembangunan kehutanan Indonesia. Upaya merehabilitasi kawasan hutan serta pembangunan hutan tanaman memerlukan pasokan benih berkualitas baik dalam jumlah yang banyak. Salah satu upaya untuk menyediakan benih berkualitas adalah melalui pembangunan sumber benih. Untuk memberikan jaminan kebenaran kelas sumber benih maka dipandang perlu adanya sertifikasi sumber benih tanaman hutan (Permenhut No P.1/2009). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya perlindungan konsumen produk sumber benih. Secara kualitatif, dari sudut pandang konsumen benih, tujuan dilakukannya sertifikasi sumber benih adalah untuk memberikan jaminan mutu sumber benih.
Namun dari sudut pandang pengelola
sumber benih serta pengada dan pengedar benih dan/atau bibit, ada pula tujuan
ekonomis yaitu memperoleh keuntungan finansial. Terpenuhinya motif ekonomi akan
memotivasi pengelola sumber benih untuk meningkatkan kualitas produksi benih.
Menurut hasil penelitian Falah et al. (2008), terdapat beberapa fenomena
masalah terkait dengan aspek ekonomi dalam kegiatan sertifikasi perbenihan yaitu
:
1. Belum ada tarif resmi sertifikasi sumber benih
bersertifikat. Tarif sertifikasi akan mempengaruhi besarnya biaya produksi
benih sehingga menentukan pula besarnya marjin keuntungan bagi pengelola sumber
benih bersertifikat.
2. Beberapa pengelola sumber benih menganggap sertifikasi
sumber benih belum dapat memberi keuntungan finansial yang signifikan.
3. Adanya
ketidakseimbangan distribusi informasi pemasaran antara pihak pengelola sumber
benih sebagai produsen dengan konsumen.
Dalam kegiatan sertifikasi
sumber benih terdapat aturan main yang melibatkan beberapa pemangku
kepentingan, atau disebut kelembagaan. Suatu kelembagaan dianggap efisien
apabila manfaat yang diperoleh parapihak seimbang dengan pengorbanan sumberdaya
yang dikeluarkan dan biaya transaksi yang dikeluarkan dalam relasi antar pihak
dapat diminimumkan.
Sumber
benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan
yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. Sumber benih dapat berasal
dari dua sumber yaitu tegakan alami maupun tegakan buatan/tanaman. Penunjukan
sumber benih dari alam untuk menyediakan benih unggul untuk jenis tertentu yang
ketersediaannya terbatas.
Hasil Hutan bukan kayu yang
disingkat dengan sebutan HHBK berdasarkan UU 41 tentang Kehutanan, kemudian
dijelaskan dengan Permenhut (Peraturan Menteri Kehutanan) adalah hasil hutan
hayati baik hewani maupun nabati dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali
kayu. Saat ini dikenal dengan HHBK unggulan yaitu, jenis hasil hutan bukan kayu
yang memiliki potensi ekonomi tinggi yang dapat dikembangkan budidaya maupun
pemanfaatannya di wilayah tertentu untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. HHBK nabati dan turunannya (selain kayu) antara lain
madu, bambu, rotan, jamur, tanaman obat, getah-getahan, resin, minyak atsiri
dan bagian yang dihasilkan tumbuhan. Sedangkan HHBK hewani dan turunannya
antara lain satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok serta
bagian atau yang dihasilkan hewan hutan. Lebih lanjut ada juga jasa yang
diperoleh dari hutan seperti jasa wisata, jasa keindahan alam, keunikan, jasa
perburuan dan jasa lainnya.
Pemerintah mewajibkan benih enam tanaman wajib bersertifikat. Keenamnya adalah cendana, cempaka, pinus, gaharu, kemiri, dan kayu putih. Tanaman-tanaman ini merupakan tanaman yang diminati, dan banyak ditanam masyarakat, serta memiliki manfaat ekonomi yang baik,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar